TEMPO.CO, Jakarta - Para pakar hukum internasional menyambut baik keputusan pengadilan arbitrase permanen di Den Haag dalam kasus yang diajukan Filipina terhadap Cina soal sejumlah masalah di Laut Cina Selatan, Selasa, 12 Juli 2016.
Salah satunya, Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri RI, doktor dalam Ilmu Hukum Internasional soal politik dan hukum laut lulusan University of Virginia, Centre for Ocean Law and Policy 1988.
“Dari segi proses, saya sejak awal menyambut baik inisiatif pemerintah Filipina untuk membawa sengketa dengan Tiongkok mengenai Laut Cina Selatan ke arbitrase internasional, Permanent Court of Arbitration,” kata Hassan saat dihubungi Tempo via telepon, Selasa malam.
Tidak seperti tanggapan Cina yang selama ini menyatakan penyelesaian sengketa melalui proses arbitrase sebagai agitasi, menurut Hassan, pengajuan tersebut merupakan upaya mencari solusi damai.
Keputusan mahkamah arbitrase menyelesaikan perdebatan teoritis tentang klaim masing-masing pihak, baik Filipina maupun Cina dan argume-argumen di balik klaim tersebut.
“Tetapi karena yang diajukan Filipina, bukan hanya menyangkut bagian-bagian yang disengketakan kedua negara, tetapi juga menyangkut klaim besar Tiongkok mengenai apa yang disebut sebagai nine dash line, yang pada gilirannya, sesungguhnya mempengaruhi semua negara yang menjadi claimant selama ini, yakni Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan meski tidak resmi juga Indonesia,” papar Hassan.
Indonesia bukan negara yang bersengketa atau claimant, namun dari kacamata Cina, dengan klaimnya tentang hak sejarah dan digambarkan dalam bentuk nine dash line, wilayahnya tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
“Poin tentang keabsahan klaim nine dash line mempengaruhi posisi tawar kita dengan Cina, di wilayah zona ekonomi eksklusif di sebelah timur Natuna, berkaitan dengan hak berdaulat atau sovereign right,” kata Hassan yang mendapatkan gelar Master of Law (LL.M) di Harvard University School of Law itu.